Ikuti Kami di ...

Premium WordPress Themes

Etika Keperawatan

A.       Macam-macam Prinsip etika keperawatan
Prinsip-prinsip etika keperawatan terdiri dari:
1.      Autonomi (otonomi)
Autonomi (otonomi) berasal dari bahasa latin, yaitu autos, yang berarti sendiri dan nomos, yang artinya aturan. Otonomi berarti kemampuan untuk menentukan sendiri dan mengatur diri sendiri. Menghargai otonomi berarti menghargai manusia sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat yang mampu menentukan sesuatu bagi dirinya. Prinsip otonomi sangat penting dalam keperawatan. Perawat harus menghargai harkat dan martabat manusia sebagai individu yang dapat memutuskan hal yang terbaik bagi dirinya. Perawat harus melibatkan klien untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan asuhan keperawatan klien tersebut.
Otonomi berarti setiap individu harus memiliki kebebasan untuk memiliki kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dengan cara bermoral mereka sendiri. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek professional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. Prinsip otonomi mengarahkan perhatian moral perawat pada penentuan secara berhati-hati tentang nilai klien. Autonomi dan individualisme juga sangat relative secara kultural. Prinsip respek pada otnomi sekarang ini telah memperoleh penekanan yang berlebihan, sebagian karena perawatan kesehatan tradisional menekankan pada prinsip kemurahan hati. Ketika prinsip kemurahan hati ini (kewajiban untuk melakukan yang baik bagi seseorang) mengalahkan otonomi klien,hasilnya adalah paternalism. Paternalisme adalah melakukan apa yang dipercayai oleh para professional kesehatan untuk kebaikan klien, kadang tanpa keputusan dari klien.

 

2.      Beneficience (kemurahan hati/berbuat baik)
Merupakan suatu kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan tidak membahayakan orang lain. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan dari diri dan orang lain. Pada dasarnya seseorang diharapkan dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri, kecuali bagi mereka yang tidak dapat melakukannya. Terkadang,dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
                                    Sebagai contoh, misalnya seorang klien yang mempunyai kepercayaan bahwa pemberian transfuse darah bertentangan dengan keyakinannya, mengalami pendarahan berat akibat penyakit hati yang kronis. sebelum kondisi klien bertambah berat, klien sudah memberikan pernyataan tertulis kepada dokter bahwa ia tidak mau melakukan transfuse darah. Pada suatu saat, ketika kondisi klien bertambah buruk dan terjadi pendarahan hebat, dokter seharuanya menginstrusikan untuk memberikan transfuse darah. Dalam hal ini,akhirnya transfuse darah tidak biberikan karena adanya prinsip beneficience, walaupun sebenarnya pada saat yang bersamaan terjadi penyalahgunaan prinsip maleficience.

3.      Non-Maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip non-maleficience memberikan standar minimum dimana praktisi selalu memegangnya. Dalam situasi klinis,sering sulit untuk menggambarkan garis antara bahaya yang tidak berarti dan melakukan yang baik. Prinsip non-malefesiens menuntut perawat menghindari membahayakan klien selama pemberian asuhan keperawatan. Sebagai contoh, perawat tidak akan dengan sengaja menggunakan jarum terkontaminasi untuk mengambil darah dari klien di bawah prinsip non-malefisens.

4.      Justice (keadilan)

Prinsip keadilan menuntut perlakuan terhadap orang lain yang adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerjauntuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Ketika ada sumber untuk diberikan dalam perawatan, perawat dapat mengalokasikannya dalam pembagian yang adil untuk setiap penerima (keadilan non-komparatif) atau bagaimana supaya kebutuhan paling besar dari apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup (keadilan komparatif).
Tindakan pada pasien yang tidak sama selalu membutuhkan pertimbangan. Misalnya, haruskah seorang klien yang memiliki kemungkinan untuk meningkatkan kesehatannya dirawat secara berbeda dengan klien yang menolak untuk mengikuti rekomendasi medis?
Prinsip keadilan mendukung pernyataan bahwa paling tidak harus terdapat suatu akses awal yang sama ke keperawatan kesehatan dalam mengkaji kebutuhan klien. Pandangan ini terbatas, namun mendukung evaluasi kritis yang lebih dalam tentang distribusi perawatan kesehatan yang langka. Laporan yang terus menerus pada klien yang berulang kali menolak saran perawatan kesehatan mungkin bukan cara yang baik untuk menggunakan sarana. Namun, prinsip keadilan mengharuskan perawat untuk meyakinkan adanya alokasi yang adil sarana yang ada bagi setiap klien.



5.      Moral rights

Teori moral mencakup bentuk pengetahuan yang kompleks dan luas yang melebihi cakupan pendahuluan ini pada etik perawatan kesehatan. Namun, terdapat teori moral dasar yang memainkan peran penting dalam proses pertimbangan.
Teori pertama, seringkali dikenal sebagai deontologi, lebih berfokus pada tindakan atau kewajiban yang harus dilakukan daripada hasil atau konsekwensi dari tindakan itu sendiri. Pemikiran seperti ini mengarahkan seseorang untuk mempertimbangkan kebenaran dan kesalahan bawaan dari suatu tindakan dan kewajiban tersebut. Kemudian jika tindakan tersebut salah, tidak akan dilakukan dan jika tindakan tersebut benar atau baik, seseorang akan memiliki kewajiban moral untuk melakukannya.
Teori kedua, teori teleologis. Teori teologis umumnya mempertimbangkan konsekwensi suatu tindakan. Teori moral semacam ini “memulai” sesuatu yang baik dengan melihat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasarkan konsekwensi apa yang dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan. Seseorang yang menggunakan pertimbangan teologis mungkin akan berpendapat bahwa situasi tertentu akan membuat kematian seseorang dapat diterima jika hasilnya akan lebih menguntungkan, seperti dalam kasus dimana seseorang yang kompeten meminta bantuan karena kematiannya telah dekat dan menyebabkan rasa sakit yang tidak tertahankan.

0 komentar: